Negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia? Mengapa Paus Fransiskus datang ke Indonesia

Jakarta – Apa tujuan pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu melawat negara dengan populasi Muslim terbesar sejagat ini?

Profesor studi Katolik dari Case Western Reserve University, Jonathan Tan, mengatakan bahwa Paus Fransiskus ingin membangun relasi dengan negara-negara mayoritas Muslim untuk meredam ketegangan antara Islam dan Kristen.

“Saya rasa karena sejak lama, ada ketegangan, kesalahpahaman sepanjang sejarahnya. Saya rasa Paus ingin membuka jalan hubungan yang baru, yang tidak defensif,” ucap Jonathan kepada BBC News Indonesia.

Uskup Agung Jakarta, Ignatius Suharyo, mengatakan bahwa Paus Fransiskus juga secara spesifik ingin mempelajari Islam di Indonesia yang berbeda dari Timur Tengah.

Jonathan menganggap Paus Fransiskus memang sangat fokus melakukan pendekatan terhadap penduduk Muslim karena banyak konflik di dunia pecah akibat ketegangan antara Islam dan Kristen.

Ignatius dan Jonathan melontarkan pernyataan ini untuk menjawab pertanyaan mengenai alasan Paus Fransiskus memilih Indonesia sebagai titik pertama dalam rangkaian tur terpanjangnya selama ia menjadi pemimpin umat Katolik sedunia.

Apa saja agenda Paus Fransiskus?
Setelah tiba di Jakarta, Paus Fransiskus diagendakan bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Rabu, 4 September.

Pada hari itu, Paus Fransiskus juga dijadwalkan bertemu dengan perwakilan gereja serta komunitas umat Katolik lainnya.

Pada 5 September, ia akan ikut serta dalam dialog antaragama di Masjid Istiqlal, Jakarta. Pada sore harinya, ia bakal memimpin misa akbar di Stadion Gelora Bung Karno yang bakal dihadiri 80.000 orang.

Usai agenda di Indonesia rampung, Paus Fransiskus akan bertolak ke Papua Nugini, Timor Leste, dan mengakhiri tur panjangnya ini di Singapura pada 13 September.

Dari keempat negara itu, sebenarnya Papua Nugini dan Timor Leste yang memiliki mayoritas penduduk Kristen/Katolik, sementara kebanyakan warga Singapura beragama Buddha.

Lantas, mengapa Paus Fransiskus justru ingin mengawali tur ini di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia?

Jonathan Tan mengatakan bahwa Indonesia merupakan bagian penting dari upaya Paus Fransiskus untuk memecah ketegangan antara Kekristenan dan Islam.

“Saya rasa karena sejak lama, ada ketegangan, kesalahpahaman sepanjang sejarahnya. Saya rasa Paus ingin membuka jalan hubungan yang baru, yang tidak defensif,” ucap Jonathan kepada BBC News Indonesia.

Jonathan membeberkan bahwa ketertarikan Paus Fransiskus untuk membangun hubungan baik dengan negara mayoritas Muslim ini sebenarnya sudah terlihat dari rangkaian agenda yang disusun Vatikan sebelumnya.

Berdasarkan rencana awal, Paus Fransiskus seharusnya berkunjung ke Indonesia pada 2020, setahun setelah ia menjadi pemimpin Vatikan pertama yang menginjakkan kaki di Semenanjung Arab pada 2019.

“Pada 2019, Paus ke Uni Emirat Arab dan saya rasa sorotan utama dalam kunjungan itu menunjukkan ketertarikan Paus dalam membangun dialog Muslim-Kristen, hubungan yang lebih baik antara Muslim-Kristen,” katanya kepada BBC News Indonesia.

“Jadi secara logika, jika tidak ada pandemi Covid-19, fase kedua dari upaya itu adalah mendatangi negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yaitu Indonesia.”

Mengapa Indonesia?
Jonathan menilai Paus Fransiskus sengaja memilih Indonesia bukan hanya karena statusnya sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.

“Indonesia tak hanya merupakan negara populasi Muslim terbesar dunia, tapi juga ada keunikan situasi hidup di Indonesia, seperti prinsip Pancasila, di mana Muslim tidak seperti di Arab Saudi atau di Timur Tengah,” katanya.

“Di sana [Timur Tengah], kehadiran dan kepemimpinan Islam sangat kuat dan dominan. Di Indonesia, [Islam dan Kristen] hidup berdampingan dalam harmoni.”

Senada, Ignatius Suharyo juga mengatakan bahwa Paus Fransiskus memang spesifik ingin mempelajari Islam di Indonesia.

“Secara khusus, Vatikan ingin belajar banyak mengenai Islam di Indonesia karena Islam di Indonesia itu berbeda dibandingkan misalnya dengan yang di Pakistan atau yang di Timur Tengah,” ujar Ignatius dalam jumpa pers pekan lalu.

Ignatius memaparkan bahwa karakteristik Islam di Indonesia sudah dapat dilihat dari sejak negara berdiri, tepatnya ketika sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) digelar pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan.

Kala itu, PPKI menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar negara. Dalam rancangan awal, pembukaan UUD itu seharusnya memuat Piagam Jakarta, yang merupakan cikal bakal Pancasila.

Poin pertama Piagam Jakarta itu berbunyi Ketuhanan dengan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya.”

“Bung Hatta berdiskusi dengan tokoh-tokoh pada waktu itu sepakat untuk menghapuskan ketujuh kata Piagam Jakarta itu, sehingga negara Indonesia tidak menjadi negara agama, tetapi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Ignatius.

“Yang paling dominan pada waktu itu pasti saudara-saudara kita yang beragama Islam, tetapi dengan hati yang begitu luas ingin membangun suatu negara kesatuan.”

Menurut Ignatius, Paus Fransiskus dan Vatikan sangat mengagumi dasar negara Indonesia, terutama Pancasila, yang memperlihatkan kerukunan.

“Sangat jelas bahwa Vatikan ingin belajar mengenai kerukunan hidup antarumat beragama. Mereka sangat berminat. Oleh karena itu, kalau ada peristiwa-peristiwa besar, dialog, selalu tokoh-tokoh Islam Indonesia diundang ke sana. Selalu,” tuturnya.

Kebebasan beragama di Indonesia: ‘Ada masalah, tapi wajar’
Meski demikian, Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan mencatat bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia pada 2023 “tidak mengalami perubahan besar”.

Berdasarkan catatan koalisi itu, sepanjang tahun lalu masih ada kasus penolakan pembangunan rumah ibadah, terjadi tren peningkatan laporan penodaan agama berdasarkan video viral, dan diskriminasi penganut kepercayaan.

Koalisi itu memang menyebut pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan ini memang “tidak banyak”. Namun, mereka menganggap persoalan ini “menambah utang masalah” yang harus diselesaikan pemerintah.

Ignatius dan Jonathan tak memungkiri bahwa memang ada masalah kebebasan beragama di Indonesia, tapi masih dalam batasan wajar.

“Negara sebesar ini, dengan penduduk sebanyak ini, bahwa ada muncul masalah-masalah kecil, bagi saya itu wajar, apalagi dengan latar belakang yang begitu berbeda-beda, dengan kesadaran budaya yang berbeda-beda,” ucap Ignatius.

Selanjutnya Silakan Baca Berita Kami Di GoogleNews

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *