Jokowi Tak Layak Jadi Cawapres, Etika Kenegaraan

jakarta-Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menegaskan, secara etik Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa mencalonkan diri menjadi calon wakil presiden (cawapres).

“Secara etik sudah tidak mungkin. Argumen hal ini tidak ada aturannya, saya bilang aturan itu di bawah etik. Jadi kalau soal etik sudah selesai, jangan lagi bilang tidak ada aturannya,” jelasnya, saat ditemui di Jakarta, Kamis (15/9).

Menurut Ray, etika kedudukan jabatan publik di atas aturan hukum tertulis. Untuk itu, seharusnya pencalonan Jokowi jadi cawapres tidak terjadi.

Ia menambahkan jika Jokowi diposisikan sebagai cawapres menunjukkan sebagai bangsa Indonesia telah kehilangan sisi demokrasinya.

Dia menambahkan, aturan itu sumber awalnya adalah etik. Bahkan, salah satu modal penyusunan konstitusi itu adalah etika berbangsa, bernegara dan demokrasi,” tutur Ray.

Ray melanjutkan, apabila etikanya dilanggar, maka dengan sendirinya konstitusinya pun dilanggar. Walaupun, tidak dinyatakan eksplisit di dalam konstitusi.

Sebelumnya, ide Jokowi maju sebagai cawapres turut dikemukakan Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi. Ia menyebut konstitusi mengizinkan Jokowi mencalonkan diri sebagai wakil presiden Prabowo.

Budi menilai wacana Prabowo-Jokowi untuk Pilpres 2024 sah-sah saja. Menurutnya, hal itu sebagai aspirasi masyarakat.

“Konstitusi mengizinkan. Politik kan soal seni kemungkinan. Wacana ini sah-sah saja. Yang namanya aspirasi masyarakat tidak bisa dilarang. Soal terwujud atau tidak itu kan banyak variabelnya,” kata Budi, Kamis (15/9).

Penjabat Kepala Daerah
Pada kesempatan sama, Ray menyampaikan landasan peraturan tentang penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah untuk menggantikan kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya dinilai belum cukup.

Menurut dia, masalah aturan ini sudah disoroti Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan MK sudah meminta pemerintah untuk membuat aturannya, hanya saja belum dibuat hingga sekarang.

Untuk dasar penunjukan Pj, Kemendagri menggunakan aturan lama di mana aturan itu lebih tersentralisasi kepada pemerintah pusat.

“Karena memang pergantian penunjukan pejabat itu sepenuhnya diberikan haknya kepada pemerintah pusat,” urai Ray.

Meskipun begitu, lanjut Ray, dalam beberapa hal ada perkembangan proses penunjukan Pj yang cukup bagus. Salah satunya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta pendapat anggota DPRD mengenai calon Pj yang tepat untuk menjadi kepala daerah.

Ini langkah maju, sebut Ray, meskipun lagi-lagi langkah ini bersifat keputusan kementerian. Sedangkan, yang dibutuhkan aturan tertulis.

Misalnya, proses penggantian Gubernur DKI Jakarta. Mendagri minta DPRD DKI Jakarta mengusulkan tiga nama untuk diberikan ke mendagri.

Namun, menurut Ray, tindakan mendagri hanya semacam keputusan politik. Jika mMendagri tidak meminta DPRD memberi masukan, maka DPRD itu tidak akan memberi masukan.

Selain itu, karena sifatnya hanya bersifat masukan, nama-mana Pj yang diberikan DPRD bisa saja tidak dipilih.

Selanjutnya Silakan Baca Berita Kami Di GoogleNews