Alasan Virus corona : Kelas menengah ‘rentan miskin’, belum tersentuh bantuan pemerintah

Jakarta – Kelas menengah hidupnya terus merosot sampai titik bawah. Teuku Riefky, peneliti makroekonomi di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), tidak setuju bila Covid-19 disebut sebagai akar masalah anjloknya kelas menengah.

Riefky bilang pandemi Covid-19 hanya “memperparah” masalah yang ada. Ia bukan pemicu utama.

Menurut hasil riset LPEM UI, tren penurunan jumlah kelas menengah telah terjadi sejak 2018 sebelum pandemi Covid-19 merebak dan memorak-porandakan ekonomi Indonesia.

Kata Riefky, ada berbagai faktor pemicu, salah satunya deindustrialisasi prematur.

Ini merujuk penurunan sektor pengolahan atau manufaktur di satu negara sebelum ia bisa menjadi negara maju.

“Polanya di Indonesia sebetulnya sudah terjadi paling tidak sejak tahun 2010, di mana pertumbuhan sektor manufaktur itu selalu di bawah pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.

Dalam sektor manufaktur, ada berbagai industri yang mengolah bahan-bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau siap pakai yang bernilai tambah. Ini termasuk industri makanan dan minuman, kendaraan bermotor, farmasi, bahan kimia, dan banyak lainnya.

Sektor ini penting, kata Riefky, karena ia bisa menciptakan lapangan kerja besar bagi mereka yang tak memiliki keterampilan tinggi.

Selain itu, karena sektor manufaktur menciptakan nilai tambah tinggi, ia disebut bisa menawarkan upah yang relatif baik.

“Kalau kita bicara sektor jasa, misalnya, itu memang upahnya relatif bisa lebih tinggi dari manufaktur. Tapi, dia itu enggak bisa menciptakan lapangan kerja sebesar sektor manufaktur,” kata Riefky.

“Jadi, misalnya yang lulusan SMA, SMK, itu juga bisa terserap dengan upah yang relatif baik [di sektor manufaktur].”

Menurut data BPS, tenaga kerja dengan pendidikan terakhir SMA dan SMK memang kini paling banyak menganggur dibanding yang lainnya.

Di sisi lain, tingkat pengangguran terendah justru berasal dari kelompok lulusan SD ke bawah dan SMP.

Ini mengindikasikan ada lebih banyak peluang kerja bagi lulusan SD dan SMP, yang tidak memiliki keterampilan tinggi, dibanding untuk tamatan SMA dan SMK.

“Untuk lulusan SD, SMP, itu masih lebih banyak lapangan pekerjaan yang mau menerima mereka. Yang high skill, yang lulusan kuliah S1 ke atas itu juga masih bisa mencari kerja. Tapi, yang pendidikan tengah ini [lulusan SMA dan SMK] yang masih sulit mencari kerja,” ujar Riefky.

“Jadi memang ada skills mismatch antara industri dan dunia pendidikan.“

Mereka yang telah bekerja pun menghadapi masalah berbeda.

Pada 2014-2023, studi LPEM UI menunjukkan lebih dari 70% penduduk kelas menengah dan calon kelas menengah bekerja di sektor pertanian dan jasa bernilai tambah rendah. Tak ada perubahan signifikan dalam periode sembilan tahun tersebut.

Selain menawarkan upah relatif rendah, pekerjaan di sektor-sektor ini sering kali bersifat informal, dengan kepastian kerja dan jaminan sosial yang minim.

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pun menunjukkan hanya ada 15% pekerja di sektor formal yang memenuhi kriteria sebagai kelas menengah.

Gaduh soal rencana penetapan tarif KRL berbasis NIK – Bagaimana mekanismenya dan mengapa dinilai tak tepat sasaran?
Sebagai catatan, untuk bisa masuk kategori kelas menengah, sebuah keluarga yang diasumsikan terdiri dari dua orang tua dan satu anak harus memiliki penghasilan setidaknya Rp5 juta per bulan.

Maka, penting bagi pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja berkualitas, kata Muhammad Yoga Permana, pengajar Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB).

Selain itu, Riefky dari LPEM UI mengatakan pemerintah mesti mengeluarkan bauran kebijakan yang tepat untuk menjaga daya beli warga kelas menengah dan calon kelas menengah.

Masalahnya, bauran kebijakan di periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi justru tampak mengabaikan dua kelompok tersebut.

Growth Incidence Curve (GIC) yang dibuat LPEM UI menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode kedua Jokowi tidak inklusif.

Itu karena manfaat kebijakan pemerintah disebut lebih banyak dirasakan 20% penduduk termiskin dan 10% terkaya, tapi tidak banyak menyentuh mereka yang di tengah, terutama pada persentil ke-40 hingga 80.

Pertumbuhan pengeluaran per kapita memang tercatat melambat di seluruh kelompok masyarakat pada periode kedua Jokowi, tapi yang terparah terjadi di kelas menengah dan calon kelas menengah, menurut studi LPEM UI.

Pada 2014-2018, pertumbuhan pengeluaran dua kelompok tersebut mencapai 7,01% per tahun. Pada 2018-2023, kenaikannya hanya 1,29% per tahun.

Contoh kebijakan yang mengorbankan kelas menengah adalah kenaikan harga BBM bersubsidi pada September 2022 karena membengkaknya anggaran subsidi sepanjang tahun tersebut.

Imbasnya, sebagian dana subsidi BBM saat itu dialihkan ke bantuan sosial bagi warga miskin dan rentan.

“Jadi masyarakat yang miskin dan rentan itu daya belinya relatif terproteksi. Masyarakat kelas atas, yang pendapatannya tinggi, itu tidak terlalu terdampak dari naiknya harga BBM. Nah, yang tengah ini yang tertekan,” kata Riefky.

‘Kebijakan yang menakut-nakuti kelas menengah’
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah sebenarnya telah menjalankan berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan kelas menengah, yang dinilai memiliki “peran strategis” dalam perekonomian.

Program yang dimaksud mencakup pemberian subsidi dan kompensasi serta insentif pajak, misalnya PPN yang ditanggung pemerintah untuk pembelian rumah.

Selain itu, ada bantuan iuran kesehatan, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan jaring pengaman melalui Kartu Prakerja untuk melindungi seseorang yang kehilangan pekerjaan.

“Semoga berbagai program ini tak hanya membantu meningkatkan kesejahteraan kelompok menengah, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan,” kata Sri melalui akun Instagram-nya pada 30 Agustus 2024.

Namun, sejumlah kementerian dan lembaga belakangan justru banyak melontarkan wacana kebijakan yang menakut-nakuti kelas menengah, kata Eko Listiyanto, ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF).

Mayoritas wacana kebijakan itu, katanya, berkaitan dengan harga-harga yang sebenarnya bisa dikontrol oleh pemerintah.

“Banyak sekali isu-isu yang akan menghantam daya beli kelas menengah. Kelas menengah ini kan rasional, kalau sudah tahu tahun depan tidak akan lebih baik dari tahun ini, mereka akan mengirit dan berhemat,” kata Eko.

Tarif pajak pertambahan nilai (PPN), misalnya, akan naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025 sebagai tindak lanjut terbitnya Undang-Undang No. 7/2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan.

Pada Juni 2024, muncul pula peraturan pemerintah yang mewajibkan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Besar potongan yang akan ditanggung pekerja adalah 2,5% dan rencananya akan berlaku pada 2027.

Tapera menuai kritik dan penolakan luas dari masyarakat. Walau pemerintah sempat menyatakan sepakat menunda implementasinya, hingga kini belum ada peraturan resmi yang benar-benar membatalkan kebijakan ini.

“Tapera itu wacananya saja yang menurun, tapi tidak ada perpres yang membatalkan legal standing-nya. Jadi, nanti 2027 akan berlaku,” kata Eko.

Belum selesai soal Tapera, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melempar wacana bahwa pemerintah akan mewajibkan asuransi kendaraan pihak ketiga (third party liability/TPL).

Wacana itu disebut sebagai tindak lanjut dari terbitnya UU No. 4/2023 tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan (P2SK), yang mengatakan “pemerintah dapat membentuk program asuransi wajib sesuai dengan kebutuhan”.

Pemerintah berencana mewajibkan asuransi kendaraan pihak ketiga alias TPL – Seberapa realistis program ini?
Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana memperketat penyaluran subsidi BBM yang dianggap tidak tepat sasaran mulai 1 Oktober 2024.

Eko dari INDEF mengatakan kalau subsidi BBM diperketat, idealnya pemerintah mendorong masyarakat untuk beralih ke transportasi umum.

Namun, dalam kurun waktu berdekatan, para pengguna transportasi umum pun dibuat meradang karena rencana perubahan skema tarif kereta rel listrik (KRL) berbasis nomor induk kependudukan (NIK).

“Sudah sesak tambah dipalak,” begitu bunyi poster penolakan warganet terhadap kebijakan itu.

Menurut juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, penerapan skema itu bertujuan “agar subsidi yang diberikan lebih tepat sasaran”.

“Di BBM ada isu tidak tepat sasaran, di KRL ada isu tidak tepat sasaran, terus mau pindah ke mana masyarakat ini?” kata Eko.

“Kan harapannya, ‘Kalau tidak kuat dengan BBM, silahkan pindah ke transportasi publik’, tapi transportasi publiknya pun diseleksi.”

Kemudian pada pekan lalu, OJK kembali melempar wacana soal iuran dana pensiun tambahan wajib yang akan memotong upah pekerja.

Presiden Jokowi dua kali anulir pembatasan pembelian BBM subsidi, apa sebabnya?
Lagi-lagi, ini terkait UU P2SK yang menyebut “pemerintah dapat melaksanakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib”.

Eko mengatakan pemerintah semestinya bisa menunda kebijakan-kebijakan berupa pungutan itu untuk melindungi kelas menengah.

“Kalau tetap dipaksakan menggali dan mengais-ngais pendapatan dari kelas menengah, berbagai iuran tadi dipaksakan hanya karena sudah dinyatakan undang-undang tanpa melihat kondisi riil mereka yang daya belinya melemah, maka implikasinya mereka akan turun kelas,” kata Eko.

“Mending kalau masih menjadi aspiring middle class, kalau jadi miskin, itu mereka akan mendapat bansos. Jadi, Anda tekan di atas, dapat sedikit pungutan-pungutan tadi, Anda kena di bawah karena harus memberikan mereka santunan dan bantuan sosial.”

Mengakali upah seadanya – Antara banting tulang dan makan tabungan
Bagi Khansa, urusannya sederhana. Upah minimum Kota Yogyakarta sebesar Rp2,49 juta “sangat enggak layak”.

Bahkan dengan kiriman uang bulanan dari ibunya, Khansa tetap ngos-ngosan berusaha memenuhi segala keperluan keluarga.

Makanya, saat ada kebutuhan mendesak atau keinginan konsumtif tertentu, ia harus mencari kerja tambahan di luar mata pencarian utamanya sebagai penulis konten.

Sepanjang April-November 2023, misalnya, Khansa mengambil pekerjaan menulis lepas sehingga bisa mendapat tambahan pemasukan Rp1,2 juta per bulan.

Selanjutnya Silakan Baca Berita Kami Di GoogleNews

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *