Indonesiainsiainside.id, Jakarta—Jika di masa lalu, perisakan (bullying) biasanya terjadi secara tatap muka, namun di zaman modern ini juga merambah ke dunia maya. Lebih dikenal dengan istilah perisakan siber (perisakan siber), hal ini dapat terjadi jika pihak-pihak yang terlibat dapat terkoneksi melalui internet.
Yang lebih mengkhawatirkan, saat negara tersebut dilanda pandemi Covid-19, insiden perisakan siber pun terlihat semakin memprihatinkan.
Terlebih lagi, metode berkomunikasi dan bersosialisasi dalam norma baru melalui internet semakin membuka ruang bagi perilaku asusila ini. Pengajar senior Departemen Komunikasi, Sekolah Multimedia dan Teknologi Komunikasi, Universiti Utara Malaysia (UUM), Dr Mohd Khairie Ahmad mengatakan, perisakan siber bisa diartikan sebagai salah satu bentuk pelecehan sosial di era digital.
“Fenomena yang juga dikenal sebagai pelecehan online ini merupakan tindakan tidak sopan yang dilakukan oleh satu individu atau sekelompok individu terhadap individu atau sekelompok individu lain yang menggunakan teknologi komunikasi.
“Pelecehan itu dimaksudkan untuk menindas, menganiaya, mengintimidasi, dan merendahkan seseorang melalui ruang digital seperti website, blog, dan media,” ujarnya dikutip Harian Metro, Malaysia, Kamis (11/3).
Menurut dia, berdasarkan data CyberSecurity Malaysia, laporan kasus perisakan siber tahun lalu di Malaysia meningkat 129 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ia mengatakan, jika ditelisik lebih jauh pada 2019 dibanding 2018 menunjukkan penurunan.
“Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa memang benar kasus perisakan siber saat Covid-19 sangat memprihatinkan,” ujarnya. “Perlu diwaspadai, data dari CyberSecurity ini adalah kasus yang dilaporkan dan saya yakin sudah banyak kasus lagi yang terjadi tapi belum dilaporkan ke instansi tersebut,” tambahnya.
Literasi Digital
Ia mengatakan, fenomena perisakan siber marak terjadi selama pandemi ini karena semua komunitas mengadopsi kebiasaan baru dalam berkomunikasi atau bersosialisasi. Covid-19 memaksa sebagian besar masyarakat terkonsentrasi di dunia maya untuk hampir sebagian besar aspek kehidupan.
“Semua keadaan ini membuka ruang bagi potensi gejala perisakan siber selama Covid-19,” katanya.
Berdasarkan beberapa penelitian, baik di tingkat global maupun domestik, terdapat beberapa tanda perisakan siber. Di antaranya korban disebutkan atau diberi judul yang tidak menyenangkan, penghinaan dan lain sebagainya.
“Terkadang, korban juga menerima gambar atau foto yang tidak menyenangkan tanpa diminta atau foto korban disebarluaskan tanpa seizinnya,” kata Khairie Ahmad. “Selain itu, korban juga sering mendapat pertanyaan di dunia maya yang mengganggu pribadi atau pergerakan seseorang juga merupakan salah satu gejala bullying. Ada juga situasi dimana rumor tentang korban menyebar,” ujarnya.
Berkomentar lebih jauh, biasanya tindakan perisakan siber ini membuat korban mengalami self-stress yang berujung pada gejala diri negatif hingga bunuh diri. “Tindakan perisakan siber ini bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk penyakit sosial. Bahkan di negara tertentu, fenomena ini dianggap sebagai bentuk kejahatan sosial,” ujarnya.
Khairie yang juga Ketua Unit Riset Komunikasi Lanjutan (ACRU) UUM mengatakan, masih banyak korban perisakan siber yang tidak melaporkan kejahatan ini hingga masih meluas. “Faktanya banyak korban melakukan tindakan untuk tidak melaporkan kejahatan ini yang secara tidak langsung mendorong lebih banyak pelaku intimidasi dunia maya.
“Setidaknya berbagi masalah dengan anggota keluarga atau teman untuk mendapatkan bantuan guna menghentikan penyebaran kejahatan sosial ini,” katanya. “Kita perlu bangkit bersama untuk menghentikan budaya negatif ini karena dunia maya adalah norma baru yang harusnya bisa membawa kedamaiakan bagi semua,” ujarnya.
Oleh karena itu, untuk mengekang budaya perisakan siber ini, masyarakat perlu meningkatkan literasi digitalnya. “Keterlibatan semua pihak seperti orang tua, masyarakat, termasuk kelompok agama, perlu dimobilisasi untuk meningkatkan kesadaran semua lapisan masyarakat.
“Pemerintah perlu semakin memperkuat pendidikan literasi digital sejalan dengan Rencana Jaringan Digital Nasional (Jendela),” ujarnya. (NE)