Saiful Mujani: Kalau Pemerintah Akui KLB Moeldoko, Lonceng Kematian Demokrat Mulai Berbunyi

Jakarta – Bola panas konflik antara Partai Demokrat dan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko kini berada di tangan pemerintah. Mati atau hidupnya Partai Demokrat, tergantung bagaimana pemerintah menyikapinya.

Direktur SMRC dan pengamat politik Saiful Mujani mengatakan, setelah Moeldoko ditetapkan menjadi ketua partai Demokrat lewat KLB, maka selanjutnya tergantung negara. Jika pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM menerima kepengurusan Moeldoko dan membatalkan kepemimpinan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), maka lonceng kematian Demokrat akan semakin kuat dan kencang.

“Setelah KSP Moeldoko ditetapkan jadi ketua partai Demokrat lewat KLB maka selanjutnya tergantung negara, lewat menkumham dari PDIP, Yasonna (Laoly), mengakui hasil KLB itu atau tidak. Kalau mengakui, dan membatalkan kepengurusan PD AHY, lonceng kematian PD makin kencang,” katanya lewat Twitter, Sabtu (6/3).

Dia mengakui, melemahnya demokrasi di dunia karena terjadi pelemahan oposisi oleh pemerintah yang ironisnya adalah hasil demokrasi. Selama ini, kata dia, Demokrat beroposisi di DPR. Ketika Moeldoko mengambil alih Partai Demokrat, ini merupakan wujud semakin tuntasnya pelemahan oposisi setelah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan partainya lebih dulu takluk.

Menurut Saiful Mujani, jalan panjang konflik di Demokrat terbentang jauh jika AHY menggugat ke pengadilan karena biasanya hanya bisa selesai di Mahkamah Agung (MA). “Berarti itu bisa makan waktu lama, bisa sampai melewati deadline daftar pemilu 2024. Katakanlah Demokrat KSP Moeldoko yang bisa ikut pemilu. Lalu bagaimana peluangnya?” katanya.

Dia melanjutkan, dirinya bisa membayangkan Demokrat bisa besar dan bahkan terbesar pada 2009 tanpa SBY. Suka atau tidak, katanya, itu adalah fakta. Kepemimpinan Moeldoko diragukan, merujuk pada pengalaman-pengalaman sebelumnya.

“Moeldoko bisa menggantikan itu? Seperti mantan jenderal-jenderal lainnya (yang) memimpin partai, KSP (Moeldoko) ini tak lebih dari Sutiyoso, Hendro, Edi Sudrajat, yang gagal membesarkan partai,” katanya.

Akibatnya, pada Pemilu 2024, Partai Demokrat bisa menjadi seperti Partai Hanura sekarang, yang hilang di parlemen setelah Wiranto tidak lagi memimpin partai itu. Hasil akhir dari manuver Moeldoko itu adalah membunuh Partai Demokrat.

“Demokrat mati di tangan seorang pejabat negara. Backsliding demokrasi Indonesia makin dalam, dan ini terjadi di bawah Jokowi yang ironisnya ia justeru jadi presiden karena demokrasi,” katanya.

Meski begitu, belum terlampau rusak. Masih ada peluang bagi pemerintah untuk memperbaiki dan kembali merawat demokrasi di negeri ini, yang juga ditandai dengan merosotnya indeks demokrasi.

“Pelemahan demokrasi ini bisa dihentikan dengan mencegah negara ikut campur internal partai sebagai pilar utama demokrasi. Presiden punya wewenang lebih dari cukup untuk menghentikan kemerosotan demokrasi ini. Tapi ini sebagian tergantung pada komitmen presiden untuk demokrasi,” kata Saiful Mujani, (Aza)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *