Jakarta – Indonesia mengajak Uni Eropa berkolaborasi mengembangkan industri minyak nabati dan besi baja, alih-alih berseteru soal kedua komoditas itu di badan sengketa Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).
“Ini era kolaborasi. Indonesia sebenarnya oke kalau bersaing. Kalau kita sandingkan, minyak kelapa sawit dengan minyak nabati Eropa, maka sulit dibandingkan,” ujar Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi dalam konferensi pers, Jumat(15/1).
Menteri Lutfi menanggapi keputusan Uni Eropa untuk melanjutkan keberatan mereka soal pembatasan ekspor bijih nikel menjadi sengketa pada Dispute Settlement Body WTO.
Sebelum gugatan ini berlanjut, sebenarnya sudah ada periode konsultasi yang memberi waktu Indonesia untuk menjelaskan kebijakan tersebut. Periode ini gagal memenuhi keinginan Komisi Eropa.
Meski mengajukan tawaran kolaborasi, namun Indonesia siap melayani sengketa dagang itu.
“Kita akan layani sengketa ini di WTO. Ini dignified, sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan demokrasi, ini adalah proses yang baik dan benar,” ujar dia.
“Kita perjuangkan hak-hak perdagangan kita. Kita bentuk pasukan legal terbaik.”
Larangan ekspor bijih nikel, dianggap Uni Eropa merugikan industri besi-baja khususnya stainless steel.
Di kawasan itu, ada 30.000 orang yang terpengaruh langsung dan 200.000 yang terpengaruh secara tidak langsung kebijakan Indonesia ini.
Sengketa ini menambah perseteruan kedua pihak setelah sebelumnya Indonesia juga mengajukan gugatan soal larangan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel di Eropa.
Menurut Menteri Lutfi, daripada bersengketa secara terbuka pada Dispute Settlement Body WTO, Indonesia menawarkan kerja sama perdagangan dan investasi untuk mengembangkan industri minyak nabati dan besi-baja di negara-negara Uni Eropa.
Indonesia menurut Menteri Lutfi sudah menjadi penghasil baja stainless stell nomor dua setelah China.
Pada Januari—November 2020, sektor besi baja merupakan penyumbang ekspor terbesar ke-3 setelah minyak kelapa sawit dan batu bara dengan nilai USD9,6 miliar.